Pasca Pilkada Petahana Marak Mutasi Jabatan, Legislator Dorong Evaluasi UU Pilkada
Anggota Komisi II DPR RI, Rahmat Saleh dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2025). Foto : Mu/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI, Rahmat Saleh, menyoroti maraknya pelantikan pejabat atau mutasi jabatan yang dilakukan oleh kepala daerah petahana tanpa mengikuti ketentuan perundang-undangan. Menurut data yang diterimanya, pelanggaran terkait hal ini menjadi salah satu yang paling banyak dipermasalahkan dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Dalam Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, jelas diatur bahwa guna mewujudkan Pilkada yang adil, kewenangan kepala daerah, khususnya petahana, dibatasi. Salah satu ketentuannya adalah larangan melakukan mutasi dan rotasi jabatan terhitung enam bulan sebelum penetapan calon kepala daerah hingga akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Namun, kenyataannya, aturan ini masih sering dilanggar oleh kepala daerah petahana,” ujar Rahmat Saleh dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2025).
Melihat banyaknya gugatan terkait persoalan ini di MK, politisi Fraksi PKS tersebut mendorong evaluasi terhadap aturan mutasi jabatan dalam UU Pilkada. Selain itu, ia juga mengusulkan agar pemerintah dan penyelenggara pemilu mulai mengkaji penerapan pemilihan secara elektronik (e-voting) pada Pemilu 2029 mendatang guna meningkatkan efisiensi anggaran.
“Terkait jumlah pemilih di Pemilu 2029, diprediksi akan didominasi oleh kalangan milenial dan generasi Z. Saya melihat bahwa biaya penyelenggaraan pemilu, baik Pileg maupun Pilkada, sangat mahal. Bawaslu saja membutuhkan sekitar Rp8 triliun hanya untuk Pilkada. Belum lagi Pileg dan tahapan lainnya. Apakah memungkinkan jika ke depan sistem pemilu kita menggunakan teknologi digital dan elektronik? Ini bisa menjadi perhatian khusus untuk dibahas dalam tahapan ke depan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rahmat menilai bahwa digitalisasi dalam penyelenggaraan pemilu berpotensi menekan angka golput. Namun, ia menekankan bahwa pembahasan usulan e-voting perlu melibatkan berbagai pihak terkait, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Kepolisian. (ayu/aha)